Kata-kata itu diucapkan Syaer Sua, seniman Dayak Ngaju, saat ditemui di tempat tinggalnya di Desa Tumbang Manggu, Kecamatan Sanaman Mantikei, Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah, pada Juni lalu. Impian melestarikan seni budaya itulah yang menggerakkan Syaer Sua membangun dua huma (rumah) betang tahun 2002-2008.
Untuk mewujudkannya, pria bernama lengkap Syaer Sua U Rangka ini mendirikan bangunan rumah panjang khas Dayak, Kalimantan Tengah, itu di Tumbang Manggu, kawasan hulu Sungai Katingan. Ia sengaja tak membangun huma di ibu kota provinsi itu, Palangkaraya, tempatnya menapaki masa remaja selepas lulus sekolah rakyat. Tumbang Manggu adalah kampung asal orangtua Syaer. Dia sendiri lahir di Bukit Rawi, Kahayan Tengah, Kabupaten Katingan. Masa kecilnya dihabiskan di tempat itu sebelum pindah ke Palangkaraya.
Sebelum hidup dan bermukim di rumah-rumah tunggal, masyarakat Dayak Kalimantan mendiami huma betang. Rumah itu dihuni puluhan keluarga yang umumnya masih kerabat. Satu kampung biasanya memiliki satu huma betang.
Sampai kini hal itu masih dilakukan. Sebagian dari mereka tetap tinggal di rumah panjang. Namun, sebagian lainnya sudah meninggalkan huma betang. Mereka hanya berkumpul di rumah betang ketika ada upacara adat.
”Saya ingin mempertahankan budaya betang. Oleh karena itu, saya membangun ini (huma betang) meski biayanya tak terhitung,” katanya.
Syaer Sua tak goyah walau ada orang yang menilai pembangunan rumah betang itu pekerjaan ”pemimpi”, bahkan dianggap aneh. Ia tetap berusaha mewujudkannya.Tahun 2002, ia mulai mencari pohon ulin atau belian (Eusideraoxylon zwageri) di hutan adat sebagai bahan baku utama. Rumah pertama itu kemudian diberi nama Betang Bintang Patendu.
Lantai Rumah yang selesai dibangun tahun 2003 itu memiliki ketinggian sekitar empat meter dengan fondasi sekitar 70 pohon ulin. Luas bangunan utama 171 meter persegi. Sedangkan bangunan kedua, yakni dapur dan ruang makan, luasnya 135 meter persegi. Tahun 2005-2008 Syaer Sua membangun huma betang kedua bernama Balai Basara Bintang Semaya. Luas bangunan utama yang ditopang 80 pohon ulin sekitar 300 meter persegi dan bagian belakang 96 meter persegi. ”Pembuatannya lama. Selain menyesuaikan dana, bahan baku kayu ulin harus dicari ke dalam hutan selama dua-tiga bulan. Untung ada perusahaan perkayuan membantu pengangkutannya,” ujarnya
Karungut dan RRI
Memiliki rumah betang, bagi Syaer Sua, tak sekadar wahana untuk menikmati hari tua. Tetapi, sebagai tempat pengembangan seni budaya Dayak di pedalaman Katingan. Oleh karena sebelumnya, tahun 1970-1980-an ia menekuni dan mengembangkan seni karungut di Palangkaraya. selanjutnya